TpCoGpCiTfO9GpY6GpOpBSdlTA==

Kisah Inspiratif Zulkifli H Adam, Sebuah Perjalanan dari Penjara

Zulkifi H Adam (kanan) ketika mendekam di balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan Kajhu, Aceh Besar. | Foto: Dok.

PADA suatu Jumat, 7 Februari 2020, ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh mendadak hening. Palu majelis hakim diketuk. Di kursi terdakwa berdiri seorang pria berkaca mata tebal yang pernah dikenal memimpin Kota Sabang. Mendengar kalimat “tidak bersalah”, Zulkifli H. Adam mantan wali kota yang pernah memimpin pulau di ujung barat Indonesia mendesah lega, lalu bersujud syukur ke lantai ruang sidang. Setahun sebelumnya ia tampil di media dengan rompi oranye tahanan ketika ditahan penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh. Kini air matanya luruh saat majelis hakim memulihkan harkat dan martabatnya.

Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis bebas Zulkifli dalam perkara korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan rumah guru senilai Rp1,4 miliar. Hakim Muhifuddin menilai ia bukan koruptor, tetapi pemilik tanah yang menjual lahannya kepada Pemerintah Kota Sabang dengan harga wajar. Dari keterangan saksi, harga tanah di Paya Seunara saat itu berkisar Rp150–400 ribu per meter persegi; Zulkifli menawarkan Rp250 ribu dan disepakati Rp170 ribu per meter. Penuntut umum sebelumnya menuntut hukuman tiga tahun sembilan bulan penjara, denda Rp100 juta subsidier enam bulan serta uang pengganti Rp796,5 juta. Tuduhan “mark up” harga tanah merugikan negara Rp796 juta menggema di media lokal. Namun majelis hakim menyatakan jual beli tanah itu sah, sesuai harga pasar, dan tidak ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang.

Perjalanan hukum itu dimulai ketika penyidik Kejati Aceh menahan Zulkifli pada 5 September 2019. Kejaksaan Tinggi Aceh menahan Zulkifli H Adam karena ia dituduh telah melakukan penyalahgunaan kewenangan dengan menerbitkan surat penetapan lokasi untuk pembebasan lahan rumah guru. Namun di saat pembuktian di sidang Pengadilan Tipikor Banda Aceh, terungkap bahwa yang menandatangani surat penetapan tersebut adalah Zulkifli Hasan yang saat itu menjabat sebagai Pj Wali Kota Sabang, sementara Zulkifli H Adam pada saat pembebasan lahan masih menjabat sebagai Anggota DPRK Sabang dari Partai Aceh dua nama "Zulkifli" yang tak bisa dibedakan oleh jaksa ketika itu.

Lalu, Zulkifli H Adam "dipaksa" mengenakan rompi tahanan dan dititipkan di Lapas Kajhu setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan lahan rumah dinas guru. Jaksa menyebut negara dirugikan karena harga tanah Rp170 ribu per meter dinilai jauh di atas nilai jual objek pajak, sementara Zulkifli bersikukuh bahwa angka itu merupakan hasil kesepakatan pemerintah dan ia tak pernah menyalahgunakan wewenang sebagaimana dakwaan jaksa.

“Itu dua nama yang berbeda dan dua orang yang berbeda. Saya Zulkifli H Adam, anggota DPRK Sabang, dan satu lagi Pak Zulkifli Hasan, Pj Wali Kota Sabang,” kenang Zulkifli H Adam, yang juga anggota kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Zulkifli Adam dan istri. | Foto: Dok.

Sidang berlangsung berbulan bulan, menampilkan ahli keuangan dan saksi pasar tanah. Dalam pledoinya, ia menegaskan tak ada korupsi: lahan itu miliknya sendiri, proses penganggaran diputuskan oleh dinas pendidikan dan DPRK Sabang. Vonis bebas Pengadilan Tipikor Banda Aceh pun mengakhiri fase pertama perjuangannya.

Upaya jaksa tidak berhenti. Pada 18 Februari 2020 mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tim kuasa hukum Zulkifli menyiapkan kontra memori kasasi. Lima bulan kemudian, Mahkamah Agung melalui putusan No 2537 K/PID.SUS/2020 menolak kasasi jaksa. Putusan tersebut menegaskan kembali bahwa Zulkifli bebas murni dan memiliki kekuatan hukum tetap. Putusan ini tidak hanya memulihkan hak hukumnya, termasuk sertifikat tanah seluas 6.653 meter persegi yang sempat disita tetapi juga mengakhiri tuduhan yang hampir menghentikan karier politiknya.

Lima tahun berselang, nama Zulkifli kembali muncul di kertas suara. Dalam Pemilihan Kepala Daerah Sabang 2024, ia berpasangan dengan Suradji Junus. Pasangan nomor urut 02 ini maju melalui jalur perseorangan dan berhadapan dengan dua calon lain. 

Hasil perhitungan awal menunjukkan kemenangan tipis, tetapi gugatan ke Mahkamah Konstitusi menyebabkan pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 02 Desa Paya Seunara lokasi tanah yang pernah menyeretnya ke meja hijau. Ironi itu berlanjut. Pada PSU 5 April 2025, pasangan Zulkifli–Suradji meraih 307 suara dari 496 suara sah, jauh meninggalkan pasangan Ferdiansyah–Muhammad Isa (188 suara) dan Hendra–Marwan (1 suara). Ketua KIP Sabang Akmal Said menegaskan kemenangan ini sekaligus mengakhiri polemik Pilkada. Kemenangan telak di lokasi tanah sengketa menjadi jawaban elegan atas tuduhan lama.

Pengabdian Zulkifli kembali diresmikan pada Sabtu, 14 Juni 2025. Di gedung paripurna DPRK Sabang, Gubernur Aceh Muzakir Manaf akrab disapa Mualemmelantik Zulkifli H Adam sebagai Wali Kota Sabang dan Suradji Junus sebagai wakilnya untuk Periode 2025—2030. Dalam sambutannya, Mualem mengingatkan mereka agar menjaga keharmonisan dengan legislatif dan Forkopimda serta bekerja untuk seluruh warga, bukan hanya pendukung. Ia juga menekankan bahwa Sabang sebagai pulau wisata harus dikelola profesional; kejujuran harus menjadi modal utama. Zulkifli membalas dengan janji mengembangkan potensi maritim dan migas di sekitar Sabang demi kesejahteraan warganya. Pelantikan ini menandai kembalinya seorang pemimpin yang pernah “dicopot” dari tuduhan korupsi ke panggung pemerintahan.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf melantik Zulkifli H Adam sebagai Wali Kota Sabang dan Suradji Junus sebagai wakilnya untuk Periode 2025—2030. | Foto: Aceh TV

Zulkifli H. Adam—lahir 17 September 1975 di Gampong Paya Seunara, Sabang, adalah seorang politikus Indonesia dan mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjabat sebagai Wali Kota Sabang dua periode yakni 2012—2017 dan 2025—2030. Ia juga pernah menjabat sebagai Bendahara Gerakan Aceh Merdeka Wilayah Pulo Aceh-Sabang.

Kisah Zulkifli H Adam yang “dipaksa” menjadi tersangka bukan sekadar drama aparat penegak hukum di negeri ini. Ia adalah cerita tentang bagaimana hukum bisa tersesat dalam tafsir dan dibengkokkan, tetapi juga bagaimana sebuah nama akhirnya dibersihkan oleh fakta. Waktu tak hanya membingkai peristiwa, tetapi memberi lapisan makna: sorot lampu sidang yang perlahan padam, suara lirih doa di balik jeruji, lalu tangan yang kembali terangkat mengucap sumpah jabatan. Sebuah perjalanan dari dinginnya lantai ubin penjara menuju podium wali kota, dari rompi oranye menuju “toga” pelantikan. Di sana, kisah ini berdiri sebagai pengingat sunyi bagi generasi bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan di negeri ini, meski jalannya terjal, melelahkan, dan kadang harus dibayar dengan luka yang tak lagi tampak di kulit, melainkan tertancap di ingatan. 

(Penulis adalah Pimpinan Redaksi - Kabar Hari Ini/ KabarHI.id: MOHSA EL RAMADAN)

Komentar0

Type above and press Enter to search.