TpCoGpCiTfO9GpY6GpOpBSdlTA==

Sengketa Empat Pulau Sumatra – 'Ini Seperti Adu Domba Aceh dan Sumatra Utara'


Kompascom/Dok.Sudirman Haji Uma

Keterangan gambar,Anggota DPD RI asal Aceh bersama masyarakat, nelayan, tokoh adat, hingga akademisi berkumpul di gugusan empat pulau untuk melakukan deklarasi bahwa 4 pulau yang masuk wilayah Sumut adalah milik Aceh.

KABARHi.id I Jakarta - Perubahan status Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang dari bagian Provinsi Aceh ke Sumatra Utara oleh Kementerian Dalam Negeri telah memicu protes warga Aceh.

Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya menghormati batas Aceh yang disepakati dalam Perjanjian Helsinki. Ia menganggap penyerahan empat pulau ke Sumatra Utara telah menodai perjanjian damai Aceh dengan Indonesia.

"Jangan mengeksploitasi Aceh itu dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI," kata Suadi.

"Itu kan seperti mengadudombakan antara Aceh dengan Sumatra Utara," tambah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka tersebut.

Pemerhati pemerintahan daerah, Armand Suparman, menyebut protes perubahan status wilayah ini terjadi karena pemerintah belum menuntaskan sengketa klaim antar daerah.

Sementara Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengatakan pihaknya sudah pernah berupaya menengahi pemerintah Aceh dan Sumatra Utara.

"Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak," kata Tito di kompleks Istana Negara, Selasa (10/06), seperti dikutip dari Kompas.com.

Lalu, mengapa Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan menjadi sengketa Provinsi Aceh dan Sumatra Utara?

Terbitnya keputusan Menteri Dalam Negeri

Perkara penguasaan pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara ini bermula ketika Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengatur tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau.

Lewat keputusan ini Kemendagri menetapkan Pulau Mangkir Besar, Lipan, Mangkir Kecil, dan Panjang masuk wilayah Sumatera Utara.

FOTO

Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution awal Juni lalu berkunjung ke Aceh untuk membahas empat pulau yang berpolemik bersama Gubernur Aceh Muzakir Manaf.

13 Juni 2025

Pertemuan Dua Gubernur

Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, sempat berupaya menemui Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di pendopo gubernur Aceh, di Banda Aceh, Rabu (04/06) guna membicarakan perkara ini.

Kala itu, Bobby hadir di Banda Aceh bersama Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu.

"Kami hadir disini untuk bisa sama-sama meredam atau sama-sama menyepakati apa yang harus kita disepakati bersama," ujar Bobby, seperti dikutip dari kantor berita Antara.

Namun, kala itu Muzakir diberitakan sedang sibuk sehingga hanya sebentar menemui Bobby.

FOTO

Aceh.tribunnews.com 

Keterangan gambar, Pulau Mangkir Besar

Seperti apa reaksi warga Aceh terhadap hal ini?

Wakil Ketua Partai Aceh Suadi Sulaiman menyatakan seharusnya pemerintah berpegang pada Perjanjian Helsinki yang menjadi landasan penyatuan kembali Aceh dengan Indonesia pasca konflik.

Ia merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956 Aceh yang disebut pada nota kesepahaman dua belah pihak.

Menurutnya pemahaman bersama terhadap nota kesepahaman ini penting demi menjaga perdamaian Aceh yang sudah berlangsung lama.

"Dengan situasi Aceh yang sudah sangat-sangat kondusif seperti ini ada baiknya pemerintah pusat itu, terutama dalam hal ini adalah Mendagri, untuk tidak memercik apa yang bisa menjadi hal-hal inkonsistensinya terhadap proses perdamaian Aceh," kata Suadi kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (11/06).

"Jangan mengeksploitasi Aceh itu dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI," kata Suadi.

FOTO

AFP via Getty Images/Olivier Morin

Keterangan gambar,Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hamid Awaludin (kiri) dan ketua delegasi perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud (kanan) dan ketua dewan Inisiatif Manajemen Krisis Finlandia Martti Ahtisaari menandatangani perjanjian damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.

Seperti diketahui isu perbatasan Aceh dan Sumatra Utara kerap kali menjadi perdebatan.

Kajian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) 2019 terhadap MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh mencatat perihal masalah terkait perbatasan 1 Juli 1956 yang tak disertai bukti dan data yang jelas.

Terkait hal ini, bekas juru bicara Gerakan Aceh Merdeka wilayah Singkil tersebut mengatakan "pemerintah pusat harus serius mengimplementasikan semua hasil MoU Helsinki tersebut, demi keutuhan NKRI".

Suadi juga mengatakan hubungan antara Aceh dan Sumatra Utara ini sudah berjalan baik. Ia juga mengungkit warga Sumatra Utara yang bermukim di Aceh, terutama di Aceh Singkil.

Ia mengatakan sengketa ini bisa memantik perpecahan.

"Itu kan seperti mengadudombakan antara Aceh dengan Sumatra Utara," ujar Suadi.

'Saya pernah buat gapura di Pulau Panjang dan Mangkir Besar'

Yardi (57), bekas nelayan di Gosong Telaga, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil, menyatakan keputusan mengubah status empat pulau terebut menjadi wilayah Sumatra Utara harus dipertimbangkan kembali.

Ia menyebut ada bukti-bukti empat pulau itu milik Aceh.

Dia mengeklaim sebagai saksi sejarah pembuatan tapal batas di pulau itu bersama Dinas Perikanan setempat.

"Saya pernah membuat tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Pulau Mangkir Gadang satu dekade yang lalu," kata Yardi kepada wartawan Yuyun yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (11/06).

Yardi pun menceritakan kondisi pulau-pulau tersebut.

"Kondisi Pulau Lipan banyak dihuni binatang berbisa dulunya, yakni binatang lipan dan kalajengking, sekarang ini kadang mudah tenggelam bila pasang air laut besar tak berpenghuni," ujarnya.

Sementara, ia bercerita Pulau Mangkir Besar dan Mangkir Ketek yang tak berpenghuni ditumbuhi tumbuhan liar dan pohon berkayu besar dan pohon kelapa.

Namun, pulau-pulau itu sesekali jadi tempat berlabuh nelayan sebagai tempat berlindung bila ada badai.

Adapun di Pulau Panjang, menurut Yardi, terdapat bangunan milik pemerintah Aceh dan pemakaman lama.

"Sepengetahuan saya, Pulau Panjang ini juga pernah dihuni oleh orang Gunung Sitoli, Nias, yang bernama Manropa dan ada juga yang menyewa orang Sitiris-tiris [Sumatra Utara]," ujarnya.

Sementara itu, media lokal Aceh juga sempat memberitakan perihal warga Aceh yang memiliki bukti kepemilikan wilayah atas pulau-pulau yang disengketakan.

Warga tersebut, Teuku Rusli Hasan, mengaku sebagai ahli waris Teuku Raja Udah.

Hasan mengeklaim empat pulau tersebut adalah milik keluarganya, dengan landasan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965.

Bagaimana penetapan empat pulau versi Kemendagri?

Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri, Safrizal Zakaria Ali, mengatakan empat pulau itu masuk Sumatra Utara karena dekat wilayah Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.

"Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah," kata Safrizal seperti dikutip dari Kompas.com

Wilayah darat dipakai sebagai patokan karena belum adanya kesepakatan perihal batas laut antara Provinsi Sumatra Utara dan Aceh di wilayah tersebut.

Safrizal juga sempat menyebut bahwa sengketa pulau-pulau ini sempat mengemuka pada 2008.

Kala itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri atas sejumlah kementerian dan lembaga melakukan verifikasi terhadap pulau-pulau di Indonesia.

"Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang," kata Safrizal.

FOTO

Yardi (57) bekas nelayan di Singkil yang dulu sering singgah ke empat pulau sengketa.

Pada 2009, temuan atas verifikasi tersebut sempat dikonfirmasi gubernur Aceh saat itu, bahwa jumlah pulau-pulau di wilayahnya yakni 260.

Konfirmasi tersebut disertai lampiran yang memuat perubahan nama dan koordinat sejumlah pulau.

Pulau-pulau tersebut: Mangkir Kecil atau yang semula Pulau Rangit Kecil, Mangkir Besar atau yang dulu Rangit Besar, dan Lipan atau dulu Malelo.

Sementara Sumatra Utara juga sempat melaporkan pulau miliknya yang mencapai 213, termasuk empat pulau yang kini disengketakan.

Pada 2009, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi juga mendapat konfirmasi 213 pulau yang diklaim Provinsi Sumatra Utara termasuk empat pulau tersebut.

Upaya pengecekan lebih jauh oleh Kementerian Dalam Negeri atas klaim Provinsi Aceh menunjukkan bahwa koordinat yang ditetapkan pemerintah Aceh tak merujuk pada empat pulau. Koordinat yang tercatat justru merujuk ke Pulau Banyak.

Pada 2017, Kemendagri pun menetapkan empat pulau itu jadi bagian dari Sumatra Utara. Hal ini dilakukan setelah kementerian melaksanakan analisis spasial terhadap empat pulau.

Di kemudian hari, Provinsi Aceh menerbitkan surat revisi atas koordinat empat pulau yang semula merujuk pada Pulau Banyak, menjadi ke Kecamatan Singkil Utara.

Pada 2020, rapat lintas kementerian menetapkan empat pulau itu merupakan wilayah Sumatra Utara.

Lalu, pada Februari 2022, terjadi pembahasan bersama antara dua pemerintah provinsi mengenai empat pulau tersebut, namun tak ada keputusan yang diraih dalam pertemuan tersebut.

Keesokan harinya Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 yang berisi pemutakhiran data kewilayahan yang menetapkan empat pulau masuk jadi bagian Sumatra Utara.

Belakangan terbitnya keputusan ini disomasi Gubernur Aceh,

Menanggapi somasi ini pemerintah pusat sepakat melayani upaya survei lapangan yang dilakukan pada Mei-Juni 2022.

Meski begitu, sengketa terus berlarut, sampai pemerintah pusat berdasarkan konfirmasi Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, dan laporan Perserikatan Bangsa-banga, menyatakan empat pulau sebagai wilayah Sumatra Utara.

Apa penjelasan versi Pemerintah Provinsi Aceh?

Pemerintah Provinsi Aceh juga mengeklaim sejumlah bukti yang menjadi landasan atas penguasaan empat pulau yang disengketakan.

Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menyebut salah satu buktinya dokumen administrasi kepemilikan atas dermaga, serta surat tanah dari tahun 1965.

Selain itu, ada juga tugu pemerintah Kabupaten Singkil yang dibangun pada 2008 dan prasasti Mangkir Ketek yang dibangun pada 2018.

Selain itu ada juga Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani pada1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatra Utara, Raja Inal Siregar.


FOTO

Kompas.com/Firda Janati

Keterangan gambar,Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri, Safrizal Zakaria Ali

Menteri Dalam Negeri menjadi saksi dari keputusan bersama tersebut.

Bukti-bukti ini, menurut Syakir, jadi pegangan terkuat.

"Ini yang menjadi pegangan bagi kita selama ini. Dokumen itu sudah kita sampaikan lengkap dengan peta-petanya kepada kementerian dalam negeri," kata Syakir seperti dikutip dari Kompas.com.

Syakir juga menyebut dalam sebuah rapat dengan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada 2022, empat pulau yang disengketakan diklaim bagian dari Aceh.

Terkait kesalahan koordinasi yang dilaporkan Provinsi Aceh kepada pemerintah pusat pada 2009, Syakir menjelaskan sudah menyampaikan revisi.

'Hal-hal yang belum diselesaikan'

Armand Suparman dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan bahwa masalah sengketa ini muncul karena keputusan pemerintah pusat di saat perselisihan antara kedua provinsi masih belum tuntas.

"Mungkin dalam proses mengeluarkan keputusan itu ada hal-hal yang belum diselesaikan antara dua belah pihak," kata Armand.

Armand mengatakan kasus sengketa wilayah antar pemerintah daerah ini bukan yang pertama.

Menurutnya, melihat kondisi tersebut, penting bagi pemerintah pusat untuk memiliki aturan yang jelas yang dapat digunakan sebagai jembatan bila terjadi konflik klaim wilayah.

Ia menyatakan, aturan tersebut sebaiknya berupa Peraturan Pemerintah (PP) karena dinilai cukup kuat untuk melibatkan berbagai kementerian dan lembaga dalam penanganan sengketa.

"Kenapa peraturan pemerintah, itu dia bisa lintas sektor ya. Misalnya kalau bicara batas wilayah, itu kan itu tidak hanya lokasi darat tapi juga laut," kata Armand.

Armand menambahkan, konflik ini adalah pelajaran bagi pemerintah pusat untuk lebih komprehensif dalam menyusun undang-undang pembentukan wilayah.

Masalahnya, ia kerap melihat undang-undang pembentukan wilayah tak disertai batasan-batasan wilayah yang detail.

"Ketika nanti ada pembentukan daerah otonomi baru ini mesti benar-benar clear soal perbatasan ini, jangan sampai menyimpan masalah di kemudian hari," tukas Armand.

Upaya mempertemukan dua gubernur

Menanggapi problem ini, Kementerian Dalam Negeri berupaya mempertemukan dua pimpinan daerah, yakni Muzakir Manaf dan Bobby Nasution.

Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Safrizal Zakaria Ali, menyebut pertemuan akan difasilitasi Kemenkopolhukam dan Kemendagri.

"Jadi, kapan? Tunggu kami laporkan, kemarin pihak Kemenko Polkam sudah melaporkan kepada Pak Menko, saya melaporkan kepada Pak Mendagri, kita tunggu nanti waktunya," tukanya, seperti diberitakan kantor berita Antara.

Potensi migas

Ketika sengketa ini mengemuka, Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution menyebut perihal keinginannya berkolaborasi dengan pemerintah Aceh mengolah kekayaan alam di wilayah empat pulau tersebut.

"Kami ingin sama-sama potensinya dikolaborasikan. Artinya kalaupun ada sumber daya alam, ada potensi pariwisata, semuanya kami harapkan bisa dikelola bersama-sama," kata Bobby.

Data Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menyebutkan wilayah lepas laut (off-shore) Singkil memiliki potensi migas yang "cukup besar".(Sumber: BBC NEWS Indonesia)

Komentar0

Type above and press Enter to search.