Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyampaikan materi saat kuliah umum di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Rabu (12/3/2025). Foto: Yegar Sahaduta Mangiri/ANTARA FOTO
KABARHi.id I Sabang - Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya merespons pernyataan Wakil Presiden RI ke 10 dan 12 Jusuf Kalla yang menyebut bahwa 4 pulau yang menjadi sengketa secara historis masuk ke wilayah Aceh Singkil berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Ia mengatakan pihaknya akan mempelajari peraturan itu terlebih dahulu.
"Akan kita pelajari lagi semua dokumen yang ada. Karena di UU no 24 tahun 1956 itu pun tidak secara detail mengatur batas," kata Bima kepada wartawan, Sabtu (14/6).
Selain UU Nomor 24 tahun 1956, JK juga menyinggung soal perjanjian Helsinki yang disepakati antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia yang diambil 15 Agustus 2005 lalu. Namun, Bima juga menyebut bahwa dalam peraturan itu juga tidak ada batas yang dijelaskan secara detail.
FOTO
Wamendagri Bima Arya di Kantor Kemendagri, Jakpus, Selasa (8/4/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparan
"Di dokumen Helsinki hanya disebutkan bahwa perbatasan aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956," ucap dia.
Lebih jauh, Bima menuturkan, sampai saat ini belum ada batas laut yang ditetapkan di antara empat pulau itu. Ia menyebut, pihaknya sampai saat ini masih mengumpulkan berbagai data dan fakta.
"Batas laut belum ditetapkan. Saat ini sangat penting untuk mengumpulkan data dan fakta historis, tidak cukup hanya geografis saja," tandas dia.
Sebelumnya, Jusuf Kalla buka suara mengenai sengketa Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang yang menjadi rebutan Aceh dan Sumatra Utara.
Ia menyinggung poin 1.1.4 dalam perjanjian Helsinki yang disepakati antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia yang diambil 15 Agustus 2005 lalu.
“Mengenai perbatasan itu, ada di Pasal 1.1.4, mungkin bab 1, ayat 1, titik 4, yang berbunyi perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” kata JK dalam konferensi pers di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (13/6).
JK menjelaskan aturan perbatasan itu merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 mengenai pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara yang diteken oleh Presiden RI saat itu, Sukarno.
“Apa itu tahun 1956? Di undang tahun 1956, ada undang-undang tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Sukarno,” kata JK.(Sumber: KUMPARAN)
Komentar0