Jemaah haji Indonesia. (Dok. Media Center Haji).
KABARHI.ID | Jakarta - Musim haji telah
dimulai tahun ini. Tahun ini, menurut Kementerian Agama, ada 221.000 jemaah
asal Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji pada 2025.
Di Indonesia, orang yang telah menjalankan
ibadah haji biasa disebut "pak haji" atau "bu haji."
Ternyata, sapaan atau julukan seperti ini
bukanlah sesuai syariat Islam, atau aturan dari Kerajaan Arab Saudi. Artinya,
panggilan ini hanya ada di Indonesia. Dan asal-usul dari kebiasaan ini adalah
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Jadi, dua abad lalu, pergi haji bukan hanya
sebatas dilihat dari sudut pandang bisnis, ibadah atau spiritual. Namun, juga
dari sudut pandang politik.
Alasannya, karena para jamaah haji asal
Indonesia kerap "berulah" usai pulang dari Makkah. Dalam pandangan
kompeni, para jamaah kerap belajar hal-hal baru ketika di Tanah Suci.
Jadi, ketika pulang kampung mereka
menyebarkan ajaran baru itu yang dapat memantik rakyat di akar rumput untuk
berontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Aqib Suminto dalam Politik Islam
Hindia Belanda (1986) menyebut, pikiran seperti ini pertama muncul di era
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada 1810-an.
Kala itu, pencetus Jalan Raya
Anyer-Panarukan itu berpikir kalau penduduk pribumi yang pulang Haji kerap
menghasut rakyat untuk berontak ketika berpergian. Alhasil, Daendels meminta
para jamaah itu untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.
Pemikiran seperti ini juga dimunculkan saat
Indonesia dijajah Inggris lewat Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles.
Dalam catatannya berjudul History of Java (1817), Raffles bahkan
terang-terangan "menyerang" orang pergi haji.
Katanya, orang Jawa yang pergi haji itu sok
suci. Karena dengan kesuciannya itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi
ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.
Meski begitu, tulis Dien Madjid dalam
Berhaji di Masa Kolonial (2008), kebijakan politis haji baru diterapkan secara
menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas
mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji.
Lewat mekanisme ini, mereka bakal melalui
serangkaian ujian.
Apabila lolos ujian, maka mereka diharuskan
menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Sekaligus juga diwajibkan
mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih.
Latar belakang aturan ini sebenarnya
berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah Hindia Belanda. Sebab,
di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji. Salah
satu yang terbesar adalah Perang Jawa, dari 1825 hingga 1830.
Jadi, tak heran kalau pemerintah memandang
itu semua dengan penuh kewaspadaan. Lewat pencantuman gelar haji, mereka mudah
untuk mengawasinya.
Apabila ada pemberontakan, maka pemerintah
akan langsung menangkap orang bergelar haji di suatu daerah. Ini tentu lebih
efektif dan efisien dibanding harus mencari dalang dari suatu pemberontakan.
Sebab, dalam pikir kompeni, pemberontakan
sudah pasti dipelopori jamaah haji.
Dari sinilah, asal-usul penyebutan gelar
haji di Indonesia. Sejak aturan tersebut, pemerintah kolonial sama sekali tidak
mengendurkan pengetatan itu. Di abad ke-20, ketika ajaran Islam tersiar dari
Makkah ke Indonesia, mereka tetap mengawasi ketat eks-jamaah haji.
Sayangnya, arus dekolonisasi di Indonesia
pasca-kemerdekaan tidak melunturkan panggilan politis tersebut. Alhasil,
panggilan itu tetap terwariskan lintas generasi.(SUMBER: CNBC Indonesia)
Komentar0