Tidak ada negara yang benar-benar bebas dari korupsi. Namun satu hal yang pasti, semakin tinggi toleransi terhadap korupsi, maka semakin dalam pula lubang kerusakan yang ditimbulkannya.
Hal inilah yang kembali ditekankan oleh Plt Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Muhibuddin SH, MH, dalam acara sosialisasi pencegahan korupsi yang digelar di Kantor Wali Kota Sabang, Senin (17/2/2025).
Di hadapan seluruh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Sabang, Muhibuddin menguraikan dengan lugas tujuh klasifikasi tindak pidana korupsi yang sering terjadi dan berpotensi besar menimbulkan kerugian sosial maupun ekonomi.
Lebih dari sekadar menyampaikan
materi hukum, pria yang juga mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
ini menyampaikan pesan moral mendalam: “Takutlah kepada Allah, bukan kepada
sadapan manusia.”
Korupsi Tak Sekadar Soal Uang, Tapi Soal Moral
Berbicara tentang korupsi bukan semata soal merugikan keuangan negara. Lebih dari itu, korupsi merusak moral, amanah, dan kepercayaan publik. Ia menyusup ke dalam sistem pemerintahan, menghancurkan keadilan sosial, dan memperlemah fondasi demokrasi.
“Korupsi itu racun. Ia tidak hanya
menggerogoti uang negara, tapi juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa. Ini masalah etika, bukan cuma hukum,” ujar Muhibuddin di Ruang Pulau
Weh, lantai IV Kantor Wali Kota Sabang.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Sabang Desiana saat memberikan pertanyaan kepada Plt Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Muhibuddin SH, MH.
Inilah 7 Bentuk Tindak Pidana Korupsi yang Sering Terjadi
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, ada tujuh bentuk utama tindak pidana korupsi
yang wajib dikenali oleh semua pihak, mulai dari pejabat publik hingga
masyarakat umum:
1. Kerugian Keuangan Negara
Penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Contoh paling klasik: pegawai pemerintahan yang memanipulasi anggaran proyek demi keuntungan pribadi. Dampaknya? Program masyarakat mangkrak, uang negara raib.
2. Suap Menyuap
Baik pemberian maupun penerimaan suap, baik antar pegawai maupun dari pihak swasta. Seperti pegawai yang ‘menyetor’ agar naik pangkat, atau kontraktor yang menyuap pejabat agar memenangkan tender. Ini yang kerap terjadi secara diam-diam namun masif.
3. Penggelapan dalam Jabatan
Termasuk dalam hal ini adalah memalsukan dokumen, menghilangkan barang bukti, atau mengubah data laporan keuangan. Misalnya, seorang jaksa atau polisi yang ‘menghilangkan’ bukti kasus suap demi melindungi pelaku.
4. Pemerasan
Ketika wewenang digunakan bukan untuk melayani, tapi untuk menekan dan meminta uang dari masyarakat. Seperti pungli dalam pengurusan dokumen administrasi yang seharusnya gratis.
5. Perbuatan Curang
Sering terjadi dalam proyek pembangunan. Misalnya, pemborong menggunakan material di bawah standar untuk proyek gedung pemerintah demi menghemat biaya dan meraup keuntungan lebih.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Kolusi dan nepotisme. Saat pejabat memasukkan perusahaan milik saudara atau kolega dalam proses tender. “Yang begini sering dianggap wajar, padahal jelas-jelas melanggar etika dan hukum,” tegas Muhibuddin.
7. Gratifikasi
Hadiah yang diberikan kepada pejabat dalam
kaitannya dengan jabatan, baik diminta atau tidak. Jika tidak dilaporkan ke
KPK, maka gratifikasi itu bisa dikategorikan sebagai suap.
Dari KPK hingga Kejati: Semua Punya Peran Cegah Korupsi
Muhibuddin menegaskan bahwa penegakan hukum atas korupsi bukan tugas KPK semata. Kejaksaan dan Kepolisian juga memiliki wewenang yang sama dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Namun, ia menegaskan, pencegahan lebih utama dari penindakan. Maka dari itu, sosialisasi dan pendidikan etika sejak dini harus diperkuat.
Di tengah masyarakat yang mulai khawatir dengan penyadapan KPK, Muhibuddin melontarkan pernyataan yang menggelitik sekaligus menyentuh sisi spiritual.
“Kenapa takut disadap manusia? Yang lebih patut ditakuti itu sadapan Allah SWT. Sadapan manusia masih bisa kita bantah. Tapi sadapan Allah? Tidak bisa disangkal, semuanya akan dipertontonkan nanti,” katanya.
Pernyataan itu disambut senyum dan anggukan dari para peserta. Suasana sejenak hening, sebelum Muhibuddin melanjutkan kisahnya.
Dengan pengalaman panjangnya sebagai penyidik KPK, Muhibuddin pernah menyidangkan lebih dari 250 kasus korupsi. Dan ia mengungkapkan betapa ironisnya dalih para pelaku saat dihadapkan pada bukti rekaman.
“Saat kami tampilkan video dan rekaman suara, terdakwa bisa bilang, ‘Saya tidak yakin itu suara saya, mungkin hanya mirip-mirip.’ Padahal buktinya jelas, wajahnya, suaranya, semua sudah ada,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut menyindir kecenderungan
pelaku untuk berkelit meski fakta sudah di depan mata. Inilah yang membedakan
keadilan di dunia dan di akhirat, kata Muhibuddin.
Penyerahan Plakat antara Kejati Aceh Kepada Pemerintah Kota Sabang di Aula Lantai 4 Kantor Wali Kota Sabang
Bangun Kesadaran, Bukan Ketakutan
Lebih lanjut, Muhibuddin yang juga alumni Pondok Modern Gontor dan salah satu penggagas Pesantren Darul Ulum Jambo Tape ini mengatakan bahwa semangat memberantas korupsi tidak boleh dimotivasi oleh ketakutan semata. Harus ada kesadaran etis dan moral dari dalam diri.
“Yang perlu kita bangun adalah ketakutan
kepada pertanggungjawaban ilahi, bukan semata takut ditangkap. Karena manusia
bisa saja berkelit, tapi kepada Allah, semua akan diperlihatkan. Inilah yang
sebenarnya harus kita takutkan,” tegasnya.
“Mari Ta Jaga Aceh Mulia Ini”
Dalam penutupnya, Muhibuddin menyampaikan pesan yang menyentuh hati. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya di Sabang, untuk mengambil bagian dalam gerakan antikorupsi yang berbasis nilai dan keimanan.
“Saya sangat mencintai Aceh. Saya kembali ke Aceh dengan satu tekad: mari kita bangun Aceh dengan peran masing-masing. Mari ta jaga Aceh mulia ini,” ujarnya penuh semangat.
Ia menambahkan bahwa penegakan hukum di bawah kepemimpinannya akan bermartabat, berperikemanusiaan, dan berkeadilan. Bukan hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tapi berimbang dan berpihak pada kebenaran.
Apa yang disampaikan Plt Kejati Aceh bukan sekadar materi hukum. Ia adalah seruan moral dari seorang penegak hukum yang juga pendidik dan pembina santri, untuk kembali pada nilai-nilai dasar: jujur, amanah, dan bertanggung jawab.
Sabang, sebagai ujung barat Indonesia, kini menjadi saksi lahirnya semangat baru dalam membangun tata kelola yang bersih, transparan, dan berkeadilan.
Melawan korupsi bukan soal menangkap
pelaku, tapi soal membangun sistem dan kesadaran kolektif. Karena pada
akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang bebas dari korupsi, tapi
yang juga mampu menjaga nilai-nilai integritas di setiap lini kehidupan.[ADV]
Komentar0